JAKARTA - Kebijakan
pemerintah dalam menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM) menimbulkan kontroversi
diberbagai kalangan masyarakat. Aksi penolakan terhadap kebijakan pemerintah
yang diumumkan pada Jumat 21 Juni lalu turut mewarnai keputusan tersebut.
Dalam survei yang dilakukan
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukan, sebanyak 79,21 persen publik
menolak kebijakan tersebut. Besarnya penolakan publik terhadap rencana kenaikan
BBM bukan hanya terjadi pada tahun 2013 ini, tapi juga terjadi pada rencana
kenaikan BBM pada tahun sebelumnya yakni 2005, 2008, dan 2012.
"Dari besarnya angka
penolakan terhadap kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM menunjukan
bahwa kebijakan ini tidak mendapat dukungan dari rakyat Indonesia, ini ironis
sekali, di mana kebijakan yang dibuat untuk rakyat justru tidak disertai dengan
dukungan rakyat, terlihat otorisasi pemerintah dalam kebijakan ini," ujar
Peneliti LSI, Adjie Alfaraby, dalam konfrensi persnya di Kantor LSI,
Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (23/6/2013).
Menurut Adjie, kendati
Presiden Susilo bambang Yudhoyono (SBY) tidak secara langsung mengumumkan
keputusan kenaikan harga BBM, melainkan diumumkan oleh menteri terkait, namun SBY dianggap paling pantas disalahkan atau
bertanggung jawab atas
dampak kenaikan BBM.
"Sebanyak 44,52 persen
publik menyatakan SBY pihak yang paling disalahkan atas kenaikan BBM, dan
sebanyak 26, 03 persen publik menyalahkan DPR, kedua pihak ini dianggap sebagai
penanggung jawab utama terhadap kebijakan naik turunnya harga BBM,"
ungkapnya.
Tidak hanya SBY dan DPR,
lanjut Adjie, Partai Demokrat juga menjadi imbas dan dituding yang
paling disalahkan atas
kebijakan tersebut. Mengingat Partai Demokrat merupakan partai yang berkuasa di
bangku parlemen dan Ketua Umum Partai Demokrat adalah SBY sendiri.
"Meski semua partai
politik minus PKS yang berkoalisi dengan pemerintah mendukung kenaikan harga
BBM, namun tumpuan kemarahan publik tetap mengarah pada Partai Demokrat,"
jelasnya.
Survei yang dilakukan secara
acak pada tanggal 18 -20 Juni terhadap 1200 responden dengan Margin Of Error
2,9 persen itu menunjukan hampir semua kalangan rakyat Indonesia menolak
kebijakan tersebut. Baik dari jenis kelamin laki-laki maupun perempuan hingga
status ekonomi masyarakat mayoritas menolak.
"Penduduk perempuan
dengan pendidikan rendah dan tinggal di pedesaan lebih besar persentase
penolakannya. Fenomena ini merupakan hal logis karena sebagian besar perempuan
adalah ibu rumah tangga dan penanggung jawab keuangan dalam rumah tangga. Bagi
mereka, kenaikan harga BBM akan sangat berpengaruh bagi kehidupan mereka di
mana hal tersebut mendorong kenaikan harga-harga kebutuhan pokok," ungkapnya.
okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar