Bangunan yang memiliki 12 tiang
penyangga kokoh, namun sama sekali tidak memiliki dinding. Seluruh bangunannya
berwarna krem pekat dan tampak sangat terawat. Di sinilah terdapat sebuah makam
seorang Raja Aceh yang sangat termasyur hingga saat ini. warna makam dicat
warna putih dengan paduan les hijau tua yang kontras. Di sekelilingnya terdapat
tulisan kaligrafi berwarna emas. Dibandingkan dengan makam yang lain, makam ini
tampak sangat ‘berkharisma’ dan mempunyai nilai historis paling tinggi.
Makam tersebut adalah milik
Poeteumeureuhom Sultan Iskandar Muda. Seorang raja kharismatik yang pernah
membawa Aceh pada puncak kegemilangan. Sebagaimana tertulis di dinding makam,
Sultan Iskandar Muda dilahirkan pada tahun 1590 Masehi dan wafat pada tanggal
27 Desember 1636 dalam usia 42 tahun.
Sultan Iskandar Muda memerintah
sejak tahun 1607 sampai tahun 1636 Masehi. Ia telah menjadi Sultan sejak
berusia 17 tahun. Meskipun usianya masih sangat belia ketika itu, namun ia
memiliki kecakapan luarbiasa dalam memimpin. Ia juga seorang yang sangat
adil dan bijaksana sehingga disegani oleh kawan maupun lawannya. Meski pun
telah menjadi seorang Sultan beliau sangat taat pada hukum agama dan tunduk
pada hukum adat.
Pada masa itu ia mampu membuat Aceh
memiliki 600 buah Seukunar (kapal perang berlambung rendah), 130 unit kapal
pengangkut yang memiliki kapasitas 30 ekor gajah dan 200 prajurit. Dan memiliki
sebuah kapal raksasa (kapal induk) bernama Cakra Donya yang digunakan sebagai
aba-aba komando.
Di 32 wilayah yang berbeda Sultan
menempatkan 216.500 prajurit, dan lima ribu ekor kuda yang tersebar mulai di
wilayah Pidie, Pase, Teunom, Daya, Jeumpa, Tamiang, Aru, Langkat, Serdang,
Deli, Bedagi, Batu Bara, Asahan sampai ke Siak. Sebagiannya lagi di Banan,
Temusik, Trumon, Bengkulu, Bengkulen, Kampar dan Pariaman. Juga di wilayah
Selida, Toba, Nias, Isaq, Linge, Johor, Pahang hingga ke Pattani.
Tahun 1634 Masehi, Sultan Iskandar
Muda memimpin sendiri serangannya ke Malaka untuk menyerang Portugis. Dengan
komando dan strategi dari kapal induk Cakra Donya ia mengerahkan 300 kapal
dengan jumlah 25 ribu personil. Pasukannya berhasil menghancurkan armada
Portugis dan berhasil mengepung benteng La Famosa selama setahun.
Namun Patani, Johor dan Kedah
akhirnya bersekongkol untuk mengkhianati Aceh. Ke tiga wilayah yang berada di
bawah kesultanan islam Nusantara itu bersekutu dengan Portugis untuk memblokade
darat dan mereka bisa masuk ke dalam benteng La Fosa.
Persekutuan ini menyebabkan
pecahnya perang hingga tiga bulan lamanya dan menelan korban hingga 15 ribu
pasukan di pihak Aceh. Setahun kemudian Sang Pemimpin pun mangkat.
Sekarang, setelah 306 tahun
berlalu, bahkan ketika kelak ranting-ranting pohon Asam di Gedung Juang lapuk
dimakan usia, dan meriam-meriam buatan Belanda, Portugis dan Jepang tidak
sanggup lagi bertengger di tempatnya, namun Sang Sultan tetap menjadi idola di
hati rakyat Aceh.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar